1. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (PEMDA).
a. Asas otonomi daerah
Adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurud rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian daerah otonom itu berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam undang-undang pembentukan suatu daerah otonom ini, telah disebutkan urusan-urusan pemerintahan yang merupakan “urusan pangkal” daerah otonom yang bersangkutan.
Penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom ditetapkan dengan peraturan pemerintahan. Penambahan penyerahan urusan pemerinthan kepada suatu daerah otonom tersebut disertai dengan penyerahan 3P (perangkat/personalia, perlengkapan/peralatan dan (sumber) pembiayaan). Suatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom dapat ditarik kembali dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan peraturan perundang-undangan tentang penyerahan urusan pemerintahan tersebut.
b. Asas desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia . Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah tingkat II. Perkembangan dan pengembangan otonomi selanjutnya didasarkan pada kondisi politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan nasional. (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 3).
Daerah otonom dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanan nasional dan syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah otonom itu melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa dalam rangka pelaksanaan otonom daerah yang nyata dan bertanggung jawab. (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 4 ayat 1).
Pembentukan, nama, batas, ibu kita, hak dan wewenangan urusan serta modal pangkal daerah otonom sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan undang-undang. (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 4 ayat 2).
Perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah otonom, perubahan daerah otonom, serta perubahan nama dan pemindahan ibu kotanya ditetapkan dengan peraturan pemerintah. (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 4 ayat 3).
Oleh karena pembentukan suatu daerah otonom yang dilakukan dengan undang-undang itu harus memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang No. 5 Tahun 1974, maka dengan undang-undang pula, suatu daerah otonom dapat dihapus apabila ternyata syarat-syarat dimaksud pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tersebut sudah tidak terpenuhi lagi, sehingga daerah otonom itu tidak mampu lagi mengatur dan mengurus rumag tangganya sendiri. (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 5).
Sementara itu ibu kota Negara Republik Indonesia , Jakarta mengingat pertumbuhan dan perkembangannya, dapat mempunyai dalam wilayahnya susunan pemerintahan dalam bentuk lain yang sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, yang pengaturannya ditetapkan dalam Undang-Undang. (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 6).
Nama dan atas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Propinsi atau Ibu Kota Negara. Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Kabupaten atau kota Madya.
Ibu Kota Daerah Tingkat I adalah Ibu Kota Propinsi, Ibu Kota daerah tingkat II adalah Ibu Kota Kabupaten. . (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 74).
Setiap Wilayah dipimpin oleh seorang Kepala Kabupaten:
1. Kepala Wilayah Propinsi dan Ibu Kota disebut Gubernur.
2. Kepala Wilayah Kabupaten disebut Bupati.
3. Kepala Wilayah Kota madya disebut wali Kota Madya.
4. Kepala wilayah Kota Administrasi disebut wali kota .
5. Kepala wilayah Kecamatan disebut Camat
Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Wilayah:
1. Kecamatan bertanggung jawab kepada kepala Wilayah Kabupaten atau Kota Madya atau Kota Administratif yang bersangkutan.
2. Kota Administrasi bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Kabupaten yang bersangkutan.
3. Kabupaten atau Kota Madya bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Propinsi yang bersangkutan.
4. Propinsi atau Ibu Kota Negara bertanggung jawab kepada presiden melalui Mandagri.
Kepala wilayah sebagai wakil Pemerintahan Pusat adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya, dalam arti:
1. Memimpin Pemerintahan.
2. Mengkoordinasi pembangunan, dan
3. Membina kehidupan masyarakat di segala bidang.
c. Asas dekosentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Dalam rangka pelaksanaan asas dekosentrasi wilayah Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia dibagi dalam wilayah-wilayah propinsi dan ibu kota Negara. Wilayah propinsi dibagi dalam wilayah-wilayah kabupaten dan kota madya, wilayah kabupaten dan kota madya dibagi dalam wilayah-wilayah kecamatan. Apabila dipandang perlu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya, dalam wilayah kabupaten dapat dibentuk kota administrative yang pengaturannya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Apabila dipandang perlu, mentri dalam negeri dapat menunjuk pembantu Gubernur, pembantu Bupati atau pembantu wali kota madya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekosentrasi.
Sesuai dengan ketentuan pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk dan disusun daerah-daerah otonom, ini dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, dan dalam wilayah Negara kesatuan republik Indonesia dibagi-bagi dalam wilayah-wilayah administrative dalam rangka pelaksanaan asas dekosentrasi.
d. Asas tugas pembantuan
Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, prasarana dan sarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan pelaksanaanya dan pertanggung jawabankannya kepada yang menugaskan. Tugas pembantuan dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan desa dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkannya kepada pemerintah pusat. Penyelenggaraan tugas pembantuan itu dibiayai atas beban pengeluaran pembangunan APBN. Pencatatan dan pengelolaan keuangan dalam penyelenggaraan tugas pembantuan dilakukan secara terpisah dari APBN. Pemerintah daerah memberitahukannya kepada badan perwakilan desa pencatatan dan pengelolaan keuangannya diperlakukan sebagai anggaran tugas pembantuan. Pemberitahuan kepada DPRD dan badn perwakilan desa dapat mengetahui kegiatan tugas pembantuan sejak perencanaan samapai dengan pelaksanaan sehingga terjadi sinergi dan koordinasi. Dalam pasal 12 Undang-Undang No.5 Tahun 1974 menentukan:
1. Dengan peraturan perundang-undangan Pemerintah Pusat dapat menugaskan kepada Pemda untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan.
2. Dengan Perda, Pemda Tingkat I dapat menugaskan kepada pemda Tingkat II untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan.
3. Pemberian urusan tugas pembantuan yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, disertai dengan pembiayaan.
2. Fungsi-Fungsi yang Ada pada Pemerintah Daerah (PEMDA).
a. Adanya keselarasan dan keserasian antara kegiatan-kegiatan pemerintahan di daerah terutama dalam penyelenggaraan urusan otonomi daerah dengan kebutuhan masyarakat, merupakan landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang beroriantasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat atau Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
b. Memberikan pelayanan bagi masyarakat, berupa meningkatkan pelayanan dasar pendidikan, menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak. Karena fungsi ini berlangsung dekat dengan masyarakat yang dilayani maka akan mendorong timbulnya prakarsa dan partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang merupakan prasyarat keberhasilan pelaksanaan pemerintahan disemua tingkat.
c. Mengembangkan kehidupan demokratis yaitu dengan mewujudkan keadilan dan pemerataan, mengembangkan sistem jaminan sosial, menyusun perencanaan dan tata ruang daerah, mengembangkan sumber daya produktif di daerah serta melestarikan lingkungan hidup. Dengan adanya pemerintah daerah, daerah otonom dapat lebih langsung berhubungan dengan masyarakat, sehingga dapat diharapkan lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat di daerahnya
3. Penyelenggaraan dan Tata Cara Pengawasan dalam Pemerintah Daerah (PEMDA).
Beberapa hal yang urgen untuk diperhatikan yaitu masalah pembinaan dan pengawasan. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 di dalam penjelasannya, yaitu Daerah Propinsi tidak membawahkan Daerah kabupaten dan Daerah Kota, tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerja sama atau kemitraan dengan daerah Kabupaten dan daerah Kota dalam kedudukan masing-masing sebagai daerah otonom. Sementara itu, dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi, Gubernur selaku Wakil Pemerintahan Pusat melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Dalam rangka penataan kelembagaan dan kepegawaian mutlak perlu dilakukan evaluasi terhadap seluruh lembaga yang ada dan lembaga yang mungkin berkembang dan menciut, sehingga hasilnya benar-benar menjawab kebutuhan daerah. Penataan kewenangan, kelembagaan dan relokasi personil benar-benar dapat berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan beban kerja Daerah sesuai dengan harapan kita.
4. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam membicarakan hubungan antara pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, perlu terlebih dahulu diperhatikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara kesatuan, karena itu Negara Republik Indonesia tidak akan mempunyai daerah-daerah di dalam lingkungannya yang bersifat Negara pula. Pelaksanaan azas desentaralisasi di dalam Negara kesatuan. Hak otonomi yang diberikan kepada daerah berdasarkan pasal 18 undang-undang dasar Republik Indonesia . Undang-undang no.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah adalah sangat berlainan dengan souvereiniteit atau kedaulatan Negara; souvereiniteit merupakan suatu attribuut dari Negara, akan tetapi tidak merupakan attribuut dari bagian-bagian Negara itu, yang hanya dapat memperoleh hak-haknya dari Negara dan yang justur sebagai bagian dari Negara diberi hak untuk berdiri sendiri (zelfstandig) akan tetapi tidak merdeka (onafhankelyk) dan ridak lepas dari sejajar dengan Negara.
Dalam ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 tentang GBHN telah digariskan prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai berikut: “Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara, dan dlam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa, maka yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas dasar kesatuan Negara, diarahkan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi”.
Untuk melaksanakan GBHN tersebut, maka prinsip yang dipakai dalam undang-undang no.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, bukanlah lagi prinsip otonomi riil dan seluas-luasnya sebagai tercantum dalam peraturan-peraturan perundang-undangan tentang pokok-pokok pemerintahan daerah yang ada sebelumnya, akan tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”.
Otonomi yang nyata adalah sama dengan otonomi yang riil, sehingga prinsip otonomi yang riil tetap merupakan salah satu prinsip untuk melandasi pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah. Istilah “seluas-luasnya” tidak dipakai lagi, karena berdasarkan pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecendrungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan kesatuan Negara dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN.
Sebagai telah ditegaskan dalam GBHN, maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah berorientasi pada pembangunan dalam arti yang luas yang meliputi segala kehidupan dan penghidupan. Dengan demikian maka otonomi daerah itu lebih merupakan kewajuban dari pada hak, untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan rakyat, yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Pengarahan-pengarahan yang telah diberikan dalam GBHN. Yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang NYATA dan BERTANGGUNG JAWAB adalah sebagi berikut:
a. Harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa.
b. Harus dapat menjamin hubungan yang serasi anatara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan Negara.
c. Harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
Nyata dalam arti bahwa pembeian otonomi kepada daerah harus didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijakan-kebijakan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Bertanggung jawab dalam arti, bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan yang telah diberikan, sesuia dengan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serat dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah otonom diatur menurut cara-cara tertentu dengan peraturan perundang-undangan no.5 tahun 1974. Misalnya, kalau pemerintah pusat akan menugaskan kepada daerah untuk mengurus sesuatu urusan pemerintah pusat sebagai urusan runah tangga daerah, maka tugas yang demikian itu tidak dapat diperintahkan dengan lisan atau dengan surat biasa, akan tetapi harus menurut cara yang telah ditentukan untuk itu dalam undang-undang no.5 tahun 1974 ialah dengan memuat penugasan itu di dalam undang-undang pembentukan dari daerah otonom yang bersangkutan, jika urusan itu diberikan sebagai pangkal urusan rumah tangga daerah, atau dengan peraturan pemerintah apabila pemberian urusan itu dilakukan kemudian sebagai tambahan urusan rumah tangga daerah.
Tidaklah boleh dilupakan bahwa hubungan anatara pemerintah pusat dan daerah tidak dapat dilakukan menurut cara yang sama dengan cara hubungan antara Presiden/Mentri(pusat) dangan Gubernur/Bupati/Walikota (Kepala Wilayah) karena:
a. Dalam pemerintah memuat asas dekosentrasi, Presiden/ Mentri disatu pihak merupakan pihak atasan, sedang Gubernur/Bupati/Walikota/Camat dipihak lain, merupakan pihak bawahan yang “ordergeschikt” atau “untergeoment” kepada pejabat-pejabat atasan tersebut.
b. Dalam pemerintahan menurut azas desentralisasi, hubungan Negara (pusat) dan pemerintah daerah harus dilakukan menurut cara yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, sebab Negara dan daerah kedua-duanya merupakan badan hokum public, yang masing-masing mempunyai badan pemerintahannya sendiri-sendiri dengan hak, kewenangan dan kewajiban sendiri-sendiri.
Untuk dapat menjamin terlaksananya prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan pemerintahan Daerah sebagai yang telah digariskan oleh GBHN, maka hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dilakukan dengan beberapa cara:
a. Dengan menggunakan berbagai peraturan perundang-undangan dengan untuk melaksanakan lebih lanjut hal-hal tertentu yang disebut dalam undang-undang tentang pokok-pokok pemerintah daerah no.5 tahun 1974, sehingga merupakan sekumpulan peraturan yang lengkap yang harus dipakai sebagai dasar melaksanakan pemerintah daerah.
b. Dengan mengadakan pedoman-pedoman Mentri dalam negeri mengenai hal-hal tertentu sebagai pemgarahan dalam melaksanakan Pemerintahan Daerah, agar dapat diperoleh cara yang seragam dalam melaksanakan pemerintahan tersebut.
c. Cara-cara yang telah digariskan di dalam undang-undang no.5 tahun 1074 itu sendiri.
5. Sumber Keuangan Daerah.
Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, karena dalam hal ada penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan, dengan perkataan lain dalam hal ini terjadi pemberian otonomi kepada Daerah, sehingga daerah mempunyai hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka daerah membutuhkan dana atau biaya, yang tidak lain adalah uang. Itulah sebabnya harus ada pengaturan mengenai perimbangan keuangan antara Negara dengan Daerah, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dana atau biaya yang dibutuhkan oleh Daerah untuk mengatur dan mengurus rumag tangganya sendiri, atau untuk menyelenggarakan otonomi daerah-nya, sebagian diperoleh dari Pemerintah Pusat atau Keuangan Negara. Inilah yang kemudian antara lain menjadi materi yang diatur dalam undang-undang mengenai perimbangan keuangan antar Negara dan Daerah.
Jadi dalam masalah perimbangan keuangan antara Negara dan daerah selalu terkait dengan masalah desentralisasi pemerintahan, sehingga dalam undang-undang yang mengatur desentralisasi selalu terdapat adanya ketentuan mengenai “Sumber-sumber Pendapatan Daerah”. Hal ini dirumuskan dalam undang-undang yang mengatur desentralisasi, akan sangat tergantung kepada serta ditentukan oleh prinsip otonomi daerah yang dianut. Undang-undang tersebut antara lain UU No. 22 Tahun 1948 tentang pemerintah daerah, pasal 37, 38(1), 39(1) dan (2), UU No.1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintah daerah, pasal 57, 58(1) dan (2), 59(1) dan (2), 60(1), 61 (1), (2) dan (3). UU No.18 tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintah daerah, pasal 69 (1) dan (2), 70(1), (2), dan (3), 71(1) dan (2), 72(1), (2) dan (3). UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah, pasal 55, 56 dan 57.
Namun demikian, dengan mengingat bahwa tidak semua pembiayaan dapat diberikan bahwa tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada daerah otonom, maka daerah otonom diwajibkan untuk menggali segala sumber-sumber keuangnya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 ketentuan mengenai sumber-sumber pendapatan daerah otonom terdapat dalam pasal 55 yang menentukan sebagai berikut:
Sumber pendapatan daerah (otonom) adalah:
a. Pendapatan asli daerah (otonom) sendiri, yang terdiri dari:
1. Hasil Pajak Daerah.
2. Hasil Retribudi Daerah.
3. Hasil Perusahaan Daerah.
4. Lain-lain hasil derah yang sah.
b. Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah (pusat) yang terdiri dari:
- Sumbangan dari pemerintah (pusat).
- Sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
c. Lain-lain pendapatan yang sah.
Selanjutnya dalam:
1. Pasal 56 Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 ditentukan ; “Dengan undang-undang sesuatu pajak Negara dapat diserahkan kepada daerah otonom.
2. Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ditentukan: “Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat daerah otonom diatur dengan undang-undang”
DAFTAR PUSTAKA
Soehino. Hukum Tata Negara (Perkembangan Otonomi Daerah). Yogyakarta: BPFE, 1991.
Soehino. Hukum Tata Negara (Proyek Percontihan Otonomi Daerah, Peletakan Titik Berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II, dan Rekomendasi kebijakan Serta Pelaksanaan otonomi Daerah). Yogyakarta: BPFE, 2003.
Soejito, Irawan., Hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT. Rinika Cipta, 1990.
Widjaja, HAW. Otonomi Daerah dan daerah Otonom. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar