Rabu, 09 November 2011

FENOMENA CONTRENG PEMILU 2009 TERHADAP MASYARAKAT YANG BELUM MELEK POLITIK


Pemilu, sebagai suatu proses politik telah mengundang perdebatan di kalangan intelektual (terutama intelektual politik) sejak dia muncul. Ada yang berpendapat, Pemilu adalah gagasan politik yang terbaik. Namun, juga terdapat golongan yang menganggap Pemilu itu bukanlah gagasan politik yang ideal, sehingga mereka menolak Pemilu. Akan tetapi, bahasan saat ini tidak akan berusaha memberikan justifikasi terhadap benar atau salah dari masing-masing kubu. Yang jelas, segala bentuk perundang-undangan yang sah menyebutkan Pemilu sebagai satu-satunya proses penetapan kekuasaan di Negara kita. Saya hanya mencoba, menampilkan perspektif, mengemukakan pandangan-pandangan yang secara obyektif ada dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Di Indonesia, berjuta-juta rakyat memandang Pemilu sebagai suatu proses politik yang sah dan rasional. Meski kecenderungan orang dalam berpartisipasi dalam Pemilu di Indonesia mengalami pasang surut, dan tren terakhir menunjukkan penurunan (selalu demikian pula di Negara-negara Eropa maupun Amerika), namun Pemilu sebagai suatu proses dimana kekuasaan (legislatif dan eksekutif) menjadi milik pengumpul suara terbanyak, masih belum tergantikan.
Sudah sembilan kali bangsa Indonesia, menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara. Pemilu yang akan kita lakukan April 2009 mendatang adalah yang ke-10. Menjelang Pemilu Legislatif April mendatang, ada baik-nya mengetahui bagaimana Pemilu-pemilu yang lalu dilaksanakan dan seperti apa hasilnya. Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerin-tah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi atau penyimpangan.

Pemilu Terakhir dan Prospek 2009
Tingginya angka golongan putih atau golput karena rakyat tidak menggunakan hak pilihnya atau suaranya tidak sah, merupakan bukti bahwa banyak yang merasa pemilu 2004 lalu tidak memberi harapan perubahan. Angka golput mencapai 23,34 persen atau 34,5 juta rakyat, jauh di atas perolehan suara Partai Golkar yang memenangkan pemilu cuma dengan 24,48 juta suara. Dari 34,5 juta orang yang golput, 23,5 di antaranya tidak datang ke tempat pemungutan suara.
Tingginya angka golput juga disebabkan seluruh partai politik tidak mampu memobilisasi rakyat untuk menggunakan hak pilihnya, dan kesalahan administrasi KPU serta kesalahan pemilih saat mencoblos karena ketidaktahuannya.
Fluktuasi (gejala yang meberikan tanda-tanda turun naiknya rasa takut terhadap sesuatu tanpa adanya alasan yang pasti) ekonomi yang sesekali diselingi krisis-krisis politik kecil di bawah kepemimpinan sekarang ini (SBY-JK), memang tidak menunjukkan satu bentuk pemerintahan yang stabil dan memiliki visi jangka panjang. Tapi di sini, hanya perlu digaris bawahi beberapa hal, yaitu tentang iklim demokrasi dan kebebasan publik. Dua hal ini, dapat kita jadikan pijakan untuk mengukur prospek Demokrasi pada Pemilu 2009 mendatang.
Pertama, bahwa iklim demokrasi di Indonesia sudah mulai membaik, meski masih belum sesuai harapan. Kejadian penembakan petani di Pasuruan oleh oknum tentara adalah bukti nyata, belum ditegakkannya hak asazi dan hak sipil di negeri ini. Meskipun juga merupakan hal yang tidak biasa, permintaan maaf langsung disampaikan oleh pejabat tinggi tentara melalui media-media publik, sesaat setelah penembakan tersebut ( hal ini tidak mungkin ditemui di era orde baru ). Memang kasus tersebut adalah hal khusus, yang tidak dapat digeneralisasi untuk menyimpulkan demokrasi di negeri ini belum tegak. Tapi dari contoh kasus ini, bisa dipastikan bahwa iklim demokrasi di Indonesia, masih jauh dari sempurna.
Kedua, adalah mengenai kebebasan publik. Pro kontra dari sebuah kelompok, baik kelompok tersebut politis ataupun tidak, adalah sah dalam demokrasi. Yang tidak sah, dan dilarang adalah, ketika pro-kontra publik diekspresikan dalam bentuk kekerasan, apalagi dengan baju SARA. Nah, kalau menyangkut hal ini, Pemilu 2004 yang disebut banyak pengamat Amerika sebagai Pemilu paling demokratis, gagal menghadirkan satu pemerintahan yang menjamin kebebasan publik (berkumpul,berpendapat) bagi warganya. Karena banyak kasus, mulai kasus dengan isu komunis (PAPERNAS), sekte-islam (Ahmadiyah), Separatisme (papua dan tempat-tempat lain), yang kemudian tidak terselesaikan dengan baik oleh pemerintah sekarang ini (SBY-JK).
Lalu bagaimana prospek demokrasi, pasca pemilu 2009 ini? Akankah ada perubahan ke arah yang lebih baik? Melihat konstelasi politik saat ini, banyak kalangan pesimis. Sebab tidak banyak perubahan peta politik, meskipun hal tersebut masih memungkinkan terjadi, baik pada partai maupun capres. Lalu?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar