Rabu, 09 November 2011

Eksisitensi DPD


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), adalah lembaga Negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang merupakan wakil-wakil daerah provinsi dan dipilih melalui Pemilihan Umum.  DPD memiliki fungsi yaitu untuk pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi dan sebagai pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu.
Sebelum adanya amandemen UUD 1945, lembaga Dewan Perwakilan Daerah tidaklah ada, itu berarti keberadaan DPD adalah lembaga baru dimana pada saat pemerintahan rezim Suharto berkuasa tidak ada.  struktur ketatanegaraan RI hanyalah terdiri atas MPR, DPR, BPK, MA, DPA. Keberadaanya sebagai lembaga baru dalam tatanan pemerintah di Indonesia dirasa sangat diperlukan, sehingga legislative dalam hal ini MPR membentuknya  dengan  tujuan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat  daerah baik dalam hal tatanan kota, ekonomi maupun yang lainya. Maka dari situlah keberadaan Dewan Perwakilan Daerah diharapkan dapat memberikan polesan bagi daerah yang mewakilinya.
Secara langsung keberadaanya telah merubah sistem kelembagaan diparlemen—dari unukemeral menjadi bicameral(dua kamar). Namun  UUD 1945 yang menerangkan akan keberadaan DPD baik wewenang, hak kewajibannya. Tidak bayak memberikan hak atas penyusunan sebuah kebijakan kepadanya, dari sinilah keberadaanya atau dalam kiprahnya di senayan dianggap kurang dapat diandalkan.


1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dengan hubungannya dengan Dewan Perwakilan Rakyat, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah yang meliputi hal berikut ini.
1. Keberadaan DPD dianggap kurang optimal
2. Usaha apa yang dapat dilakukan oleh DPD untuk dapat lebih berperan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
3. Bagaimanakah dukungan anggota MPR RI terhadap eksistensi DPD?
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keberadaan DPD dianggap kurang optimal
Secara historis dapat dikatakan bahwa Dewan Perwakilan Daerah RI lahir pada perubahan UUD 1945 yang ketiga, dengan kata lain DPD RI adalah produk reformasi. Pada perubahan UUD 1945 lahir lembaga-lembaga negara baru disamping adanya beberapa lembaga  negara yang dihapuskan. Setelah perubahan UUD 1945 yang ketiga kemudian lahirlah Dewan Perwakilan Daerah RI sebagai lembaga baru, yang cikal bakal pembentukannya berasal dari fraksi-fraksi utusan daerah yang dianggap tidak cukup mampu untuk menyuarakan kepentingan daerah dalam proses perumusan kebijakan nasional, sebab Fraksi utusan daerah tidak ikut serta dalam pembuatan keputusan politik nasional dalam tataran undang-undang. Keberadaan fraksi utusan daerah dianggap hanya mewakili dalam gagasan, maka diperlukan sebuah lembaga yang tidak saja mewakili dalam gagasan namun juga mewakili dalam bentuk kehadiran orang daerah.
Dalam hal perumusan kebijakan seolah hanya sebagai “perayu” Dewan Perwakilan Rakyat jika dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya. Karena tidak sampai pada level ikut pengesahan dalam merancang suatu produk hukum atau undang-undang. Dan seolah hanya sebagai “partner biasa” Dewan Perwakilan Rakyat jika dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya, hanya pada pengajuan, usul, dan memeberikan pertimbangan kepada DPR tentang keputusan ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbntunya yang berkaitan dengan daerah.
Selain itu DPD juga sering disebut-sebut sebagai lembaga negara dengan wewenang terbatas. Seperti yang dinyatakan oleh Bivitri Susanti bahwa tidak tepat mengatakan DPD dengan wewenang terbatas, sebab sebenarnya DPD tidak mempunyai wewenang apapun, kemudian dalam konteks politik, kewenangan selalu diartikan sebagai wewenang dalam mengambil keputusan politik. Kehadiran DPD seharusnya memberikan solusi terhadap sistem politik yang sentralistik selama lima dasawarsa terakhir. Namun, keberadaan DPD tidak mempunyai fungsi seperti yang diharapkan karena tidak lebih dari sekedar aksesoris demokrasi dalam sistem perwakilan. Karena itu, reposisi DPD perlu didukung dengan sejumlah aturan normatif yang mampu memaksimalkan kinerja DPD dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi legislatifnya.

2.3 Usaha yang dapat dilakukan oleh DPD untuk dapat lebih berperan dalam  sistem ketatanegaraan Indonesia
Gagasan dasar pembentukan DPD adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah sekaligus memberi peran lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan kebijakan negara—untuk beberapa hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari indikasi yang nyata bahwa pengambilan keputusan  yang bersifat sentralistik pada masa lalu (utusan daerah) ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidak adilan, karena utusan daerahpun berangkat dari partai sama dengan anggota DPR RI, sehingga dalam pengambilan sebuah kebijakan lebih diberatkan pada anggota DPR yang lebih mayoritas.
Dewan Perwakilan Daerah diharapkan mampu memberikan kontribisi politiknya dalam meyuarakan daerah, walaupun perannya dalam parlemen tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh daerah karena peran yang diberikan oleh konstitusi terlalu kecil, hal ini dapat kita lihat dalam UUD 1945 pasal:
1. Ayat (1):
”Dewan perwakilan daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan Undang - undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”
2. Ayat (2):
” Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan  penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada Dewan perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”.

3. Ayat (3):
 ”Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang - undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan, dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya Itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti”
4. Ayat (4):
“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam Undang-undang.”
Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki DPD untuk tidak dipandang sebelah mata oleh dua lembaga tersebut.
1.  DPD harus mampu membangun kreativitas politik agar DPD secara kelembagaan diterima dan diakui eksistensinya (minimal) di provinsi yang diwakilinya. Kreativitas politik tersebut misalnya melakukan pemantauan perihal pelaksanaan pilkada, ataupun membentuk tim peneliti ataupun investigasi perihal konflik-konflik yang terjadi di daerahnya, dan menyikapinya dengan sikap kenegarawanan. Ataupun secara lantang misalnya menyuarakan anti kenaikan BBM karena masyarakat yang diwakilinya mengalami kesusahan yang sangat akibat dari kenaikan harga BBM.
2.  DPD harus secara kontinnyu melakukan kegiatan politik yang dapat memberikan implikasi positif perihal eksistensi dan penguatan DPD dengan pendekatan pada konvensi ketatanegaraan. Kegiatan tersebut dapat seperti pembangunan kaukus politik anggota parlemen (DPD dan DPR) asal provinsi yang sama, dan membangun hubungan yang baik untuk secara serius dan terencana mendorong pembangunan daerah dan memperjuangkan aspirasinya.
3.  Membangun kerja sama lintas komisi dengan DPR. Pembangunan kerja sama lintas komisi ini penting untuk membiasakan bekerja sama dan mengerjakan hal-hal yang sama seperti yang dikerjakan anggota DPR. Meski ini tidak diatur dalam konstitusi, namun sangat efektif dan besar pengaruhnya bagi eksistensi DPD, sebab membiasakan kerja sama dengan DPR dan membahas permasalahan yang sama dengan seperti yang dibahas DPR akan membangun kepercayaan diri, dan pembelajaran politik yang besar bagi DPD sebagai lembaga yang baru menapak dan membangun eksistensinya.
4.   DPD secara kelembagaan harus terus melakukan komunikasi politik dengan eksekutif perihal kebijakan yang dibuatnya. Komunikasi politik tersebut bisa dilakukan dengan rapat konsultasi sebagaimana yang dilakukan DPR, juga diupayakan untuk mengundang presiden ataupun menteri terkait untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan yang dibuat dan (terutama) menyangkut daerahnya, misalnya perihal nota kesepahaman dengan GAM, penyelundupan BBM, penyelesaian konflik, perihal internasionalisasi Papua dan lain sebagainya. Langkah ini meski tidak ada diatur dalam konstitusi, namun perlu dilakukan sebagai stimulasi dan pengkondisian dari upaya penguatan DPD untuk menjadi salah satu dari dua kamar yang efektif dalam sistem parlemen bikameral. Konvensi melalui kebiasaan ketatanegaraan sebagaimana yang pernah dilakukan harus terus dilakukan guna membangun kebiasaan yang seharusnya dilakukan oleh lembaga seperti DPD untuk mempetegas eksistensinya.
2.3 Dukungan Anggota MPR RI terhadap Eksistensi DPD
Dalam menjalankan fungsi yang sesuai dengan konstitusi, DPD banyak menemui kendala terutama dalam masalah penyusunan kebijakan. Beberapa pasal yang menyatakan tentang hal tesebut sempat kami singgung diatas. Perjuangan DPD dalam mencapai keoptimalan wewenang diparlemen masih harus melalui jalan yang  panjang, itu terbukti dengan usaha yang telah dilakukan oleh DPD rejanggal dengan kurangnya dukungan di MPR (sesama lembaga negara) dalam sidang paripurna yang pernah dilaksanakan. Berikut adalah data tabel yang menyatakan hal tersebut.

·         Dukungan Anggota MPR RI.
No.
kelompok/fraksi
partai
Jmlh gota MPR
Dukungan
cabut
Nov’ 2007

1
2
3
4
5
6
7
1.
kelompok DPD

128
128
-
128
2.
fraksi partai Golkar
partai Golkar, PBR
P karya peduli B
12714
2
1513
2
13-
2
213
-
3.
fraksi PDI Perjuangan
PDI P dan P Damai Sejahtera
10913
-8
-8
4.
fraksi PPP
PPP
58
7
7
-
5.
Fraksi Partai Demokrat
partai Demokrat,p Keadilan dan Persatuan Indonesia
561
23-
23-
6.
fraksi PAN
PAN
53
11
11
-
7.
fraksi PKB
PKB
52
47
-
47
8.
fraksi PKS
PKS
45
16
-
16
9.
fraksi Bintang Pelopor Demokrasi
partai Bulan Bintang partai Persatuan Demokrasi kebangsaan
partai pelopor
PNI Marhaenisme
partai Penegak Demokrasi Indonesia
114
3
1
1
11
1
-
-
1
-
-
11
-
-
-

JUMLAH

550
273
57
216
Jumlah  dukungan diatas tidak cukup untuk memuluskan jalan DPD menuju amandemen ke-5, berdasarkan pasal 37 UUD 1945 yang mensyaratkan usul perubahan harus diajukan sekurang - kurangnya ( 1/3 X 678 = 226 orang ).
Berdasarkan dari data diatas menunjukkan bahwa sistem Bikameral (dua kamar) yang diterapkan di Negara kita tidak dibangun dalam konteks Checks and Balances (timbal balik/seibang), ini dikarenakan oleh keterbatasan untuk mengakomodasi kepentingan daerah untuk menciptakan keadilan distribusi kekuasaan. Dan tidak dipungkiri bahwa saat mengadopsi suatu sistem untuk diterapkan dalam suatu Negara perlu disesuaikan dengan konstelasi Negara bersangkutan, mungkin demikian pula yang terjadi di Indonesia, maka kita sebutlah ”bicameral ala Indonesia“.
Tapi seharusnya adaptasi suatu sistem yang diadopsi terhadap konstelasi negara tidak mengaburkan tujuan diterapkan atau diadopsinya sistem tersebut. Sejak awal tujuan diterapkannya sistem bikameral adalah kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berkaitan dengan supremasi MPR—dari unikameral menjadi bikameral, dan anggota - anggota yang tidak dipilih dan tidak efektif ( fraksi utusan golongan dan fraksi utusan daerah ).
Padahal pada umumnya legitimasi dari suatu lembaga tinggi menentukan kuat lemahnya sistem bikameral suatu Negara. Legitimasi ditentukan oleh keterlibatan warga negara dalam pemilihan anggota majelis yang langsung dipilih oleh rakyat mempunyai legitimasi yang tertinggi makin tidak langsung, makin kurang legitimasinya, namun yang terjadi di Indonesia adalah hal yang sebaliknya. Kunci sistem bikameral adalah ” kompetisi ” antara majelis rendah dan majelis tinggi dalam pengambilan keputusan sebagai wujud adanya mekanisme check and balances dalam lembaga legislatif itu sendiri, namun rasa - rasanya DPD tidak akan mampu berkompetisi jika hanya dipersenjatai dengan wewenang; memberi pertimbangan; mengajukan usul, dan hanya melakukan pengawasan terhadap undang - undang tertentu.

















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Berdasarkan pada paparan di atas tersebut, maka simpulan yang dapat dipaparkan sebagai berikut ini.
1)      DPD tidak mempunyai wewenang apapun, kemudian dalam konteks politik, kewenangan selalu diartikan sebagai wewenang dalam mengambil keputusan politik. Kehadiran DPD seharusnya memberikan solusi terhadap sistem politik yang sentralistik selama lima dasawarsa terakhir. Namun, keberadaan DPD tidak mempunyai fungsi seperti yang diharapkan karena tidak lebih dari sekedar aksesoris demokrasi dalam sistem perwakilan. Karena itu, reposisi DPD perlu didukung dengan sejumlah aturan normatif yang mampu memaksimalkan kinerja DPD dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi legislatifnya.
2)      a. DPD harus mampu membangun kreativitas politik agar DPD secara kelembagaan diterima dan diakui eksistensinya (minimal) di provinsi yang diwakilinya.
b. DPD harus secara kontinnyu melakukan kegiatan politik yang dapat memberikan implikasi positif perihal eksistensi dan penguatan DPD dengan pendekatan pada konvensi ketatanegaraan.
c. Membangun kerja sama lintas komisi dengan DPR. Pembangunan kerja sama lintas komisi ini penting untuk membiasakan bekerja sama dan mengerjakan hal-hal yang sama seperti yang dikerjakan anggota DPR.
d. DPD secara kelembagaan harus terus melakukan komunikasi politik dengan eksekutif perihal kebijakan yang dibuatnya
3)  Bahwa MPR tidak mendukung DPD karena DPD tidak akan mampu berkompetisi jika hanya dipersenjatai dengan wewenang; memberi pertimbangan; mengajukan usul, dan hanya melakukan pengawasan terhadap undang - undang tertentu. Sedangkan lawannya dalam ” kompetisi ” ini dipersenjatai lengkap, bahkan seperti yang tercantum dalam pasal 20 ayat (5) UUD 1945[15] saat ini yang seolah - olah memiliki hak veto adalah DPR. DPD bisa dibabat habis oleh DPR jika harus berkompetisi.

3.2 Saran
            Berdasarkan bahasan pada paparan tersebut, adapun saran agar kedudukan DPD tidak di pandang sebelah mata atau hanya dianggap sebagai pelengkap dari parlemen. Hal itu disebabkan karena, banyak pihak yang menyatakan  bahwa keberadaan Dewan Perwakilan Daerah kurang dapat memberikan intensif yang sebenarnya atau selayaknya sebuah lembaga perwakilan. Tidak sedikit yang menyatakan akan hal tersebut—akademisi, masyarakat  umum atau bahkan politisi itu sendiri, pada umumnya mereka melihat dari kenyataan dalam menyusun kebijakan negara dan konstitusinya pun menyatakan seperti itu.
            Padahal secara mekanisme yang ada, DPD dalam pemilihannya sama dengan DPR yaitu langsung kepada rakyat. Berarti secara politik merekapun harusnya mempunyai fungsi, wewenang, dan tugas selayaknya lembaga negara yakni menyuarakan   aspirasi rakyat, bukan sekedar lembaga tinggi pelengkap sebagai persyaratan dari sistem kelembagaan Bikameral.
Dalam hal ini kami ingin memberikan rekomendasi berkaitan dengan masalah-masalah eksistensi DPD antara lain:
1)      keanggotaa DPD harus memiliki legitimasi yang kuat sebagai perwakilan langsung dari kewilayahan, karena telah menggunakan pola pencalonan personal, tidak lagi menggunakan simbol-simbol kepartaian
2)       proses pemilihan anggota DPD melengkapi hasrat politik masyarakat perihal alternative pilihan bagi wakil-wakilnya di parlemen. Karena selama ini wakilnya yang dari partai kurang dapat memihak pada rakyat dan cenderung patuh dan nunut kepada partai politik yang menjadi kendaraan . Dengan kehadiran DPD, diharapkan masyarakat memiliki harapan kepadanya, dan secara personal masyarakat sudah banyak mengenalnya. Ini dapat dijadikan nahan pertimbangan bagi negara khususnya KPU meminimalisir angka golput (golongan putih)
3)       kehadiran DPD juga dapat sebagai upaya  untuk menyeimbangkan kekuasaan dan mengontrol kinerja dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang pasca amandemen pertama UUD 1945 sangat dominan dan memperioritas dalam menyusun sebuah kebijakan.

Untuk dapat memberikan apa yang kita sebut dengan  check and balances dalam kelembagaan di parlemen, maka keberadaan DPD diharapkan mempunyai peranan seperti lembaga lain. Jangan sampai untuk pemilihan umum mendatang wewenangnya seperti sekarang ini, dan tidak ada lagi anggapan DPD adalah lembaga tinggi negara tanpa taring dan gigi. Fungsinya  sekedar menjadi pelengkap, memenuhi syarat sebagai lembaga dengan sistem Bikameral, dan karenanya eksistensi DPD di parlemen adalah sesuatu yang tidak bisa ditunggu.











DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Markus. Buku Pintar Calon Anggota & Anggota Legislatif (DPR, DPRD, & DPD) . Jakarta Transmedia Pustaka, 2008.

Gea, Antonius Atosokhi., and Antonia Panca Yuni Wulandari, Yohanes Babari. Relasi Dengan Sesama. Jakarta PT Gramedia, 2003.

Redaksi, Tim. Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen). Yokyakarta Pustaka Yustisia, 2008.
Muradi.”Dewan Perwakilan Daerah” http://muradi.wordpress/com/2007/01/06/ pengiatan-dpd-dan-insentif-politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar