Rabu, 09 November 2011

Perbandingan antara Ekonomi Liberal, Kapitalis, Sosial dan Pancasila


 
Konsep Ideologi
Negara Pelaku
Aspek Negatif
Aspek Positif

Ekonomi Liberal ialah sebuah sistem dimana adanya kebebasam baik untuk produsen maupun konsumen untuk berusaha yang didalamnya tidak ada campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi mekanisme pasar, jadi semua mekanisme pengatusran harga diserahkan ke pasar (tergantung mekanisme supply dan demand).
Di Benua Amerika: Amerika Serikat, Argentina, Bolivia, Brasil, Cili, Cuba, Colombia, Ekuador, Honduras, Canada, Meksiko, dan lain sebagainya.
Di Benua Eropa: Albania, Armenia, Austria, Belgia, Finlandia, Prancis, Jerman, olandia, Portugal, Spanyol, Swedia dan lain sebagainya.
Di Benua Asia: India, Iran, Israel, Jepang, Korea Selatan, Filiphina, Taiwan, Thailang dan lain sebagainya.
Di Benua: Al Jazair, Angola, Benin, Burkina Faso, Kenya dan lain sebagainya.
1.      Terjadinya persaingan bebas yang tidak sehat bilamana birokratnya korup.
2.      Masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
3.      Banyak terjadinya monopoli masyarakat.
4.      Banyak terjadinya gejolak dalam perekonomian karena kesalahan alokasi sumber daya oleh individu.
5.      Pemerataan pendapatan sulit dilakukan, karena persaingan bebas tersebut.
1.   Menumbuhkan inisiatif dan kreasi masyarakat dalam mengatur kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah/komando dari pemerintah.
2.   Setiap individu bebas memiliki untuk sumber-sumber daya produksi, yang nantinya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
3.   Timbul persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
4.   Menghasilkan barang-barang bermutu tinggi, karena adanya persaingan semangat antar masyarakat.
5.   Efisiensi dan efektivitas tinggi, karena setiap tindakan ekonomi didasarkan motif mencari keuntungan.

Ekonomi Kapitalis yaitu sistem ekonomi dimana kekayaan produktif terutama dimiliki secara pribadi dan pruduksi terutama untuk penjualan. Tujuan dari pemilikan pribadi tersebut adalah untuk mendapatkan suatu keuntungan yang lumayan dari penggunaan kekayaan pruduktif.
Amerika Serikat, Eropa dan Asia termasuk juga Indonesia
1.   Tidak ada persaingan sempurna. Yang ada persaingan tidak sempurna dan persaingan monopolistik.
2.   Sistem harga gagal mengalokasikan sumber-sumber secara efisien, karena adanya faktor-faktor eksternalitas (tidak memperhitungkan yang menekan upah buruh dan lain-lain).

1.   Lebih efisien dalam memanfaatkan sumber-sumber daya dan distribusi barang-barang.
2.   Kreativitas masyarakat menjadi tinggi karena adanya kebebasan melakukan segala hal yang terbaik dirinya.
3.   Pengawasan politik dan sosial minimal, karena tenaga waktu dan biaya yang diperlukan lebih kecil.

Ekonomi Sosial adalah sumber daya ekonomi atau faktor produksi diklaim sebagai milik Negara. Sistem ini lebih menekankan pada kebersamaan masyarakat dalam menjalankan dan memajukan perkonomian. Imbalan yang diterimakan pada orang perorangan didasarkan pada kebutuhannya, bukan berdasarkan jasa yang dicurahkan

Dampak Negatif:
Dampak negatif dari aspek sosial bagi masyarakat secara umum adalah polusi udara yang berasal dari asap mesin produksi yang nantinya akan berakibat buruk bagi masyarakat sekitar antara lain menggangu kesehatan masyarakat.
Dampak positif dari aspek ekonomi bagi masyarakat :
1.   Dapat meningkatkan ekonomi di lingkungan sekitar melalui : mengurangi pengangguran di lingkungan sekitar masyarakat yang akhir-akhir ini semakin bertambah.
2.   Menggali, mengatur dan menggunakan ekonomi sumber daya alam melalui : dengan adanya Bengkel Kenteng dan Cat Mobil tersebut masyarakat dapat memanfaatkan fasilitas yang ada.
3.   Meningkatkan perekonomian pemerintah melalui : dengan adanya Bengkel Kenteng dan Cat Mobil tersebut dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang belum cukup maju.
Dampak Positif
Dampak positif dari aspek sosial bagi masyarakat secara umum adalah tersedianya sarana dan prasarana yang dibutuhkan :
1.   Perubahan demografi melalui terjadinya tingkat pengangguran, yaitu dalam pembuatan usaha tersebut tentunya pihak pengusaha membutuhkan tenaga kerja yang mana dapat diambil dari lingkungan masyarakat sekitar.
2.   Perubahan budaya yang dapat berdampak pada perubahan sikap masyarakat, yaitu masyarakat akan mendapatkan sebuah gambaran tentang berwirausaha.

Ekonomi pancasila di definisikan sebagai sistem ekonomi yang di jiwai ideologi Pancasila yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluagaan dan kegotongroyongan nasional.
Indonesia
Harus dihindari seperti:
1.   Sistem free Fight Liberalime yang membutuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan stuctural posisi Indonesia dalam ekonomi dunia.
2.   Sistem etatisna dalam nama Negara beserta aparatur ekonomi Negara bersifat dominant serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi sector Negara.
3.   Pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Sistem Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi campuran yang mengandung pada dirinya ciri-ciri positif dari kedua sistem ekstrim yang dikenal yaitu kapitalis-liberalis dan sosialis-komunis
partisipasi dan demokrasi ekonomi, pembangunan daerah (bukan pembangunan di daerah), nasionalisme ekonomi, dan pendekatan multidisipliner terhadap pembangunan. Partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan seluruh rakyat Indonesia dalam mewujudkan cita-cita demokrasi ekonomi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 sementara demokrasi ekonomi itu sendiri berarti bahwa produksi dilakukan oleh semua untuk mencapai keuntungan semua di bawah kepemimpinan dan pengawasan semua anggota masyarakat. 
Pembangunan ekonomi Indonesia yang direncanakan, diatur, dan dikendalikan  secara terpusat merupakan serangkaian kegiatan “pembangunan di daerah”, bukan “pembangunan daerah”. Dalam hal ini daerah hanya mendapat alokasi dana untuk menjalankan program nasional yang ada di daerah tersebut. Proses seperti itu seringkali tidak didasarkan pada aspirasi penduduk daerah setempat.
Nasionalisme ekonomi di Indonesia sempat muncul sekitar tahun 1960-an. Saat itu Indonesia bertekad untuk memajukan perekonomiannya dengan modal dan kekuatannya sendiri.


Prospek Guru Ke Depan (Semester IV)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang (prospek Guru Ke Depan)
Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan (pre-servive education) maupun program dalam jabatan (inserve education). Seperti yang dinyatakan dalam google. com, Esihairani mengatakan:  

Pendidikan guru Pra-jabatan secara terbuka menetapkan tujuan pendidikan guru yang jelas bagi publik, pendidikan yang lebih personal untuk menjadi guru profesional dan bertanggung jawab, dalam jumlah dan mutu pendidikan yang sesuaidengan kebutuhan perkembangan masyarakat Indonesia yang sedang membangun. (http://www/blogspot/com).


Potensi sumber daya guru itu perlu terus-menerus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara profesional. Selain itu, pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat. Itulah sebabnya perlunya sebuah supervisi. Supervisi ialah suatu usaha dalam memberi pelayanan kepada guru-guru baik secara individual maupun berkelompok dalam usaha memperbaiki pengajaran. Supervisi pendidikan itu bertolak belakang dari keyakinan dasar bahwa guru adalah suatu profesi. Suatu profesi selalu bertumbuh dan berkembang. Perkembangan profesi itu ditentukan oleh faktor internal dan eksternal.
Perlunya supervisi pengembangan sumber daya guru karena sumber daya guru itu tumbuh dan berkembang. Dalam diri guru itu ada sesuatu kekuatan untuk berkembang suatu elan vital (tenaga hidup). Dorongan asasi terungkap dalam daya berpikir abstrak, imajinatif dan kreatif serta komitmen dan kepedulian. Kebanyakan dorongan ini sulit ditampakkan pada seseorang dalam memilih menjadi guru. Hal tersebut disebabkan, karena daya tarik dari jabatan guru tidak menjanjikan suatu harapan yang menarik. Maka dari itu, sebaiknya semua komponen masyarakat sudah selayaknya terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan bangsa. Dalam hal ini pemerintah, tokoh masyarakat, dan tentunya guru, yang secara professional mengemban tugas mulia ini. Saat ini telah banyak menyaksikan upaya mengarah kepada hal tersebut. Yang terbaru, pemerintah berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup para guru dengan program sertifikasi. Sebagai pendidik yang kesejahteraan hidupnya semakin terjamin, para guru diharap tidak melihat program ini sebagai "lahan empuk" semata, tapi menjadikannya sebagai tantangan untuk terus berusaha meningkatkan profesionalitas keguruannya.  

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terkait dengan prospek guru dke depan, maka masalah yang timbul dirumuskan berikut ini.
1.      Substansi yang harus diperhatikan dalam upaya peningkatan diri seorang guru dalam dunia pendidikan dan pengajaran.
2.      Problematika keprofesionalan guru antara prospek dan realita.

1.3  Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, terkait dengan prospek guru ke depan, maka tujuan yang timbul adalah berikut ini.
1.      Untuk mengetahhui substansi yang harus diperhatikan dalam upaya peningkatan diri seorang guru dalam dunia pendidikan dan pengajaran.
2.      Untuk mengetahui problematika keprofesionalan guru antara prospek dan realita.




BAB II
PEMBAHASAN

        Substansi yang Harus Diperhatikan dalam Upaya Peningkatan Diri Seorang Guru dalam Dunia Pendidikan dan Pengajaran.
Sosok guru adalah figur dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Sebagai profesi, dialah yang mempunyai tugas membentuk para siswanya menjadi pribadi-pribadi yang mapan, handal, dan siap untuk meneruskan estafet kehidupan mendatang yang berguna bagi bangsa dan negara. Para tokoh masyarakat yang ada sekarang, di setiap kehidupan baik formal atau non-formal, tidak terlepas dari andil seorang guru yang "membentuk" peserta didik, sehingga menjadi seperti saat ini. Berbeda dengan profesi lainnya, mendidik dan mengajar adalah sebuah profesi yang sangat mulia dan diakui oleh hampir semua aspek kehidupan, dengan segala bentuknya; agama, pemerintah, serta masyarakat secara umum. Semua agama, tanpa terkecuali "memberikan" predikat mulia kepada tugas seorang guru. Demikian halnya sebuah pemerintahan. Selayaknyalah menyadari bahwa beban yang diemban para guru adalah suci nan-berat; mempersiapkan penerus bangsa. Karena pada hakekatnya, keberhasilan pemerintahan suatu Negara adalah keberhasilan pemerintahan sebelumnya dalam mempersiapkan generasi muda melalui "tangan kreatif" guru. Demikian juga sebaliknya. Sudah banyak program pemerintah yang mengarah pada hal tersebut. Berupaya semaksimal mungkin "menghargai" profesi guru, termasuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup. Program mutakhir yang mengarah pada hal tersebut adalah sertifikasi guru. Sebuah program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
   Para guru secara umum, harus menyamakan misi dan persepsi dalam rangka mensukseskan tujuan pendidikan nasional yang tercantum pada pembukaan UUD 1945 yaitu: mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena, sebagai tunas muda, para siswa-siswi kita saat inilah diharapkan kelak menjadi "pohon rindang" yang tidak menutup kemungkinan kita juga akan ikut berteduh di bawahnya. Adalah sebuah kebanggaan bagi guru -misalnya- untuk mengakui, bahwa dahulu pernah mengajar seorang siswa bernama Susilo Bambang Yudoyono, yang sekarang menjadi presiden RI. Beda halnya dengan tujuan pemerintah yang berupaya mensejahterakan guru melalui program sertifikasi, sebagai guru selayaknya melihat program ini menjadi tantangan untuk terus meningkatkan mutu serta kualitas profesi yang diemban. Sangat naif, khusunya bagi guru yang telah tersertifikasi, jika masih belum menyadari pentingnya meningkatkan kepribadian guru dalam segala aspek kehidupan. Intinya, menjadi seorang guru, juga harus siap menanggung konsekuensi sebagai guru. Khusus di dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Dalam hal ini, ada dua perkara substantif yang harus selalu diperhatikan dalam upaya peningkatan diri seorang guru, yaitu sebagi berikut ini.
a)      Keharusan meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran, dengan terus mencari dan menerapkan program dan metode inovatif yang lebih mengena dan bermutu. 
b)      Hal yang juga sangat krusial, adalah upaya menjaga dan meningkatkan moralitas guru; di hadapan para siswa serta masyarakat secara umum. Masalah terakhir ini,  sekarang nampaknya, kurang mendapat perhatian dari kalangan guru. Hal ini tentu berimplikasi pada "merosot"nya pendangan masyarakat luas terhadap sosok guru. Dua aspek tersebut (peningkatan moralitas dan pengajaran) selayaknya menjadi komitmen serta prospek guru ke depan; sama-sama disadari sebagai "kode-etik" meningkatkan citra guru.
  Baik pemerintah atau pun guru, keduanya sama-sama bertanggung jawab mengentas kebodohan bangsa. Secara tekhnis, dengan program sertifikasi guru, pemerintah berusaha terus menjalankan tugasnya mempersembahkan tenaga-tenaga guru selektif-berkualitas untuk bangsa. Sementara bagi kalangan guru, dengan program yang sama, semakin termotifasi untuk menjadi guru yang profesional dalam rangka memberikan pengabdian yang terbaik bagi bangsa. Karenanya, melalui program yang sedang digalakkan ini, kedua belah pihak (baik pemerintah serta para guru) diharapkan bersama-sama terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan nasional. Menjadi harapan, kedepan tidak akan terjadi lagi aksi sekelompok guru yang mendatangi kantor pemerintah; berdemo menuntut kesejahteraan hidup yang selalu dijanjikan. Atau, ada guru yang "diciduk" aparat; karena mengabaikan moralitas seorang guru. Alih-alih memberikan teladan, malah menjadikan anak didiknya sebagai "mangsa".  Jika demikian halnya; yang tersisa hanya malu pada profesi, malu pada diri sendiri, serta malu kepada anak didik kita.

2.2 Problematika keprofesionalan guru antara prospek dan realita
Setiap guru memiliki keterbatasan, di samping kelebihannya. Alih-alih memahami sebagai suatu keniscayaan, masih banyak orang memandang  keterbatasan itu bagaikan sebuah “momok” bagi dunia pendidikan, sehingga wajib disembuhkan. Akan tetapi, seyogianya Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan stakeholders pendidikan memahami keterbatasan guru sebagai bagian dari problematika keprofesionalan yang memerlukan pemecahan tidak secara seragam, baik terhadap individu maupun kolektif. Sehingga kebijakan yang hendak diturunkan haruslah berupa upaya-upaya memasilitasi guru dengan sempurna,  sebab kualifikasi akademik, kompetensi, dan kebutuhan guru yang sangat beragam, jika diperberat lagi dengan minimalnya fasilitas yang dimiliki, akan senantiasa mewarnai seretnya ketercapaian tujuan pendidikan.
Pada umumnya, kesulitan demi kesulitan langsung menghadang keterlibatan guru dalam mengikuti irama pemerintah mengubah kurikulum. Sebab, keberangkatan guru guna mendapatkan bekal ilmu, keterampilan, dan sikap dalam memahami serta menerapkan kurikulum baru, jarang ketemu langsung dengan para ahli kurikulum. Seringnya hanya dicukupi melalui serangkaian kegiatan sosialisasi dari para tutor yang sehari-harinya bekerja sebagai birokrat kantoran. Kualifikasi mereka adalah lulusan training of trainer (ToT), maka akan jauh berbeda bila tutor itu berasal dari guru senior yang berpengalaman menghabiskan waktunya bertahun-tahun di ruang-ruang kelas.
Kerapkali diakui oleh para tutor itu, bukan dengan maksud basa-basi, bahwa kompetensi yang diperolehnya hanya berbeda soal waktu dengan kebanyakan guru. Sebab, mereka merasa punya kelebihan lebih dulu tahu, bukan lebih dulu ahli. Ditambah lagi, masuknya mereka ke dalam ToT terkadang bukan berdasarkan terpenuhinya kriteria keahlian, tetapi diuntungkan oleh jabatan struktural yang memberinya banyak peluang.
Oleh karena itu ke depan, jika pemerintah mengubah lagi kurikulum, kepada para gurulah peluang itu harus makin banyak diberikan. Bukan tidak mungkin pemahaman ihwal kurikulum baru akan menjadi lebih baik, dan ujung-ujungnya dapat mengatasi problematika keprofesionalan guru. Belajar dari fenomena pergantian kurikulum tersebut, diharapkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah banyak-banyak memberikan pertimbangan soal keadilan menetapkan kuota dalam melaksanakan bimbingan teknis kepada guru-guru, lebih-lebih bila bimbingan itu melibatkan para pakar pendidikan.
Sejalan dengan itu, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan stakeholders pendidikan dituntut kapabilitasnya agar tidak kikir dalam memberikan fasilitas yang memadai bagi terwujudnya guru profesional, selaras dengan tuntutan Standar Nasional Pendidikan. Paling tidak jangan sampai mengabaikan faktor perbaikan dan peningkatan kesejahteraan guru. Seperti yang sudah seringkali diungkapkan, kesejahteraan guru yang memadai memiliki relevansi sangat signifikan terhadap kualitas  profesinya. Selama ini tidak henti-hentinya guru diminta segera mengubah realita keterpurukan. Untuk itu, berbagai topik seminar, lokakarya, atau semiloka sudah dan akan sering digelar. Tentu saja diikuti oleh banyak guru dengan berbagai alasan, yang salah satunya pasti berkaitan dengan sertifikasi, sebagai jawaban atas tuntutan mengumpulkan bahan dokumen portofolio. Kenyataannya, setelah sertifikat diperoleh, masih tidak mudah mengajak mereka berkreasi, berinovasi, dan berimprovisasi.













BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, terkait dengan prospek guru ke depan, maka simpulan dapat diuraikan berikut ini.
1.      Pemerintah yang berupaya mensejahterakan guru melalui program sertifikasi, sebagai guru selayaknya melihat program ini menjadi tantangan untuk terus meningkatkan mutu serta kualitas profesi yang diemban. Secara teori adanya sertifikasi guru itu sangat baik. Dasarnya yaitu UU maupun PP yang berisi Standar Nasional Pendidikan sudah kuat, akan tetapi yang menjadi permasalahan, akankah dengan sertifikasi guru-guru dijamin profesionalitas seorang guru. Bukan tidak mungkin porto folio mereka hanya karena lamanya jadi guru dan seringnya mereka meninggalkan tugas untuk penataran, workshop, seminar, diklat dan lain-lain. Terus juga adanya problem, dengan sertifikasi konsekuensinya penghasilan guru akan bertambah, akankah tidak menyebabkan guru akan malas karena merasa penghasilannya sudah cukup tinggi?. Kemudian, dengan adanya pengangkatan CPNS Guru dari tenaga honorer yang mengabdi di dinas pemerintah apakah kita bisa menjamin kualitas mereka, sementara mereka masuk di dinas pemerintah tanpa seleksi? Masihkah dapat berbicara kualitas pendidik dengan adanya sertifikasi, jikalau proses dari awal saja sudah hantam kromo tanpa mempedulikan kualitas.
2.      Ketika pemerintah mengubah sebuah kurikulum, kepada para gurulah peluang itu harus makin banyak diberikan. Sejalan dengan itu Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan stakeholders pendidikan dituntut kapabilitasnya agar tidak kikir dalam memberikan fasilitas yang memadai bagi terwujudnya guru profesional, selaras dengan tuntutan Standar Nasional Pendidikan. Paling tidak jangan sampai mengabaikan faktor perbaikan dan peningkatan kesejahteraan guru. Seperti yang sudah seringkali diungkapkan, kesejahteraan guru yang memadai memiliki relevansi sangat signifikan terhadap kualitas  profesinya.


3.2 Saran
Berdasarkan bahasan pada paparan tersebut, adapun saran terhadap prospek guru ke depan, yaitu dengan adanya sertifikasi guru diharapkan semakin termotifasi untuk menjadi guru yang profesional dalam rangka memberikan pengabdian yang terbaik bagi bangsa, bukan malah untuk disalah gunakan dengan perbuatan-perbuatan yang justru akan merusak citra baik guru. Maka dari itu, melalui program yang sedang digalakkan ini, kedua belah pihak (baik pemerintah serta para guru) diharapkan bersama-sama terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Selain itu diharapkan pada masing-masing pribadi guru menjadi sosok "malaikat" yang alpa-kekeliruan di depan para siswanya; terlebih dalam membidangi pembelajaran bidang studinya. Hal tersebut hanya bisa terwujud dengan persiapan pembelajaran yang betul-betul matang. Penguasaan materi, proses aplikatif pengajaran menjadi syarat mutlak sebelum memasuki ruang kelas. Malaikat adalah hamba yang tercipta untuk tidak berbuat salah. Jika menjadi "malaikat" saat mengajar, adalah tekat sebagi seorang guru di depan para siswa, ma­ka  berusaha untuk selalu benar saat mengajar; baik materi atau metode, akan menjadi kelayakan tidak tertawar. Sangat logis untuk tidak mengatakan harus- kita malu "kepergok" murid, salah atau keliru dalam pembelajaran. Jadi, kalau bisa untuk menghindari kemungkinan salah, kenapa tidak kita upayakan semaksimal mungkin.











DAFTAR PUSTAKA

Esihairani. “Prospek dan Tantangan Guru di Masa Depan” www.google// http://esihairani/blogspot/com/2009/01, (online) 22 April 2009.

Sahertian, Piet A. Supervisi Pendidikan. Jakarta: PT. Rinika Cipta, 2000.

Syahansyah, Zulfan  Sertifikasi: Upaya Timbal-Balik Antara Guru dan Pemerintahhttp://www/pewarta-kabarindonesia/blogspot/com/ Alamat ratron (surat elektronik), (online) 22 april 2009.

Pemerintah Daerah


1.      Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (PEMDA).
a.      Asas otonomi daerah
Adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurud rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian daerah otonom itu berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam undang-undang pembentukan suatu daerah otonom ini, telah disebutkan urusan-urusan pemerintahan yang merupakan “urusan pangkal” daerah otonom yang bersangkutan.
Penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom ditetapkan dengan peraturan pemerintahan. Penambahan penyerahan urusan pemerinthan kepada suatu daerah otonom tersebut disertai dengan penyerahan 3P (perangkat/personalia, perlengkapan/peralatan dan (sumber) pembiayaan). Suatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom dapat ditarik kembali dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan peraturan perundang-undangan tentang penyerahan urusan pemerintahan tersebut.

b.      Asas desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah tingkat II. Perkembangan dan pengembangan otonomi selanjutnya didasarkan pada kondisi politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan nasional. (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 3).
Daerah otonom dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanan nasional dan syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah otonom itu melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa dalam rangka pelaksanaan otonom daerah yang nyata dan bertanggung jawab. (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 4 ayat 1).
Pembentukan, nama, batas, ibu kita, hak dan wewenangan urusan serta modal pangkal daerah otonom sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan undang-undang. (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 4 ayat 2).
Perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah otonom, perubahan daerah otonom, serta perubahan nama dan pemindahan ibu kotanya ditetapkan dengan peraturan pemerintah. (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 4 ayat 3).
Oleh karena pembentukan suatu daerah otonom yang dilakukan dengan undang-undang itu harus memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang No. 5 Tahun 1974, maka dengan undang-undang pula, suatu daerah otonom dapat dihapus apabila ternyata syarat-syarat dimaksud pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tersebut sudah tidak terpenuhi lagi, sehingga daerah otonom itu tidak mampu lagi mengatur dan mengurus rumag tangganya sendiri. (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 5).
Sementara itu ibu kota Negara Republik Indonesia, Jakarta mengingat pertumbuhan dan perkembangannya, dapat mempunyai dalam wilayahnya susunan pemerintahan dalam bentuk lain yang sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, yang pengaturannya ditetapkan dalam Undang-Undang. (UU No.5 Tahun 1974        Pasal 6).
Nama dan atas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Propinsi atau Ibu Kota Negara. Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Kabupaten atau kota Madya.
Ibu Kota Daerah Tingkat I adalah Ibu Kota Propinsi, Ibu Kota daerah tingkat II adalah Ibu Kota Kabupaten. . (UU No.5 Tahun 1974 Pasal 74).
Setiap Wilayah dipimpin oleh seorang Kepala Kabupaten:
1.      Kepala Wilayah Propinsi dan Ibu Kota disebut Gubernur.
2.      Kepala Wilayah Kabupaten disebut Bupati.
3.      Kepala Wilayah Kota madya disebut wali Kota Madya.
4.      Kepala wilayah Kota Administrasi disebut wali kota.
5.      Kepala wilayah Kecamatan disebut Camat
Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Wilayah:
1.      Kecamatan bertanggung jawab kepada kepala Wilayah Kabupaten atau Kota Madya atau Kota Administratif yang bersangkutan.
2.      Kota Administrasi bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Kabupaten yang bersangkutan.
3.      Kabupaten atau Kota Madya bertanggung jawab kepada Kepala Wilayah Propinsi yang bersangkutan.
4.      Propinsi atau Ibu Kota Negara bertanggung jawab kepada presiden melalui Mandagri.
Kepala wilayah sebagai wakil Pemerintahan Pusat adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya, dalam arti:
1.      Memimpin Pemerintahan.
2.      Mengkoordinasi pembangunan, dan
3.      Membina kehidupan masyarakat di segala bidang.

c.       Asas dekosentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Dalam rangka pelaksanaan asas dekosentrasi wilayah Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia dibagi dalam wilayah-wilayah propinsi dan ibu kota Negara. Wilayah propinsi dibagi dalam wilayah-wilayah kabupaten dan kota madya, wilayah kabupaten dan kota madya dibagi dalam wilayah-wilayah kecamatan. Apabila dipandang perlu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya, dalam wilayah kabupaten dapat dibentuk kota administrative yang pengaturannya ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Apabila dipandang  perlu, mentri dalam negeri dapat menunjuk pembantu Gubernur, pembantu Bupati atau pembantu wali kota madya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekosentrasi.
Sesuai dengan ketentuan pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk dan disusun daerah-daerah otonom, ini dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, dan dalam wilayah Negara kesatuan republik Indonesia dibagi-bagi dalam wilayah-wilayah administrative dalam rangka pelaksanaan asas dekosentrasi.

d.      Asas tugas pembantuan
Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, prasarana dan sarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan pelaksanaanya dan pertanggung jawabankannya kepada yang menugaskan. Tugas pembantuan dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan desa dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkannya kepada pemerintah pusat. Penyelenggaraan tugas pembantuan itu dibiayai atas beban pengeluaran pembangunan APBN. Pencatatan dan pengelolaan keuangan dalam penyelenggaraan tugas pembantuan dilakukan secara terpisah dari APBN. Pemerintah daerah memberitahukannya kepada badan perwakilan desa pencatatan dan pengelolaan keuangannya diperlakukan sebagai anggaran tugas pembantuan. Pemberitahuan kepada DPRD dan badn perwakilan desa dapat mengetahui kegiatan tugas pembantuan sejak perencanaan samapai dengan pelaksanaan sehingga terjadi sinergi dan koordinasi. Dalam pasal 12 Undang-Undang No.5 Tahun 1974 menentukan:
1.      Dengan peraturan perundang-undangan Pemerintah Pusat dapat menugaskan kepada Pemda untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan.
2.      Dengan Perda, Pemda Tingkat I dapat menugaskan kepada pemda Tingkat II untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan.
3.      Pemberian  urusan tugas pembantuan yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, disertai dengan pembiayaan.


2.      Fungsi-Fungsi yang Ada pada Pemerintah Daerah (PEMDA).
a.       Adanya keselarasan dan keserasian antara kegiatan-kegiatan pemerintahan di daerah terutama dalam penyelenggaraan urusan otonomi daerah dengan kebutuhan masyarakat, merupakan landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang beroriantasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat atau Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
b.      Memberikan pelayanan bagi masyarakat, berupa meningkatkan pelayanan dasar pendidikan, menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak. Karena fungsi ini berlangsung dekat dengan masyarakat yang dilayani maka akan mendorong timbulnya prakarsa dan partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang merupakan prasyarat keberhasilan pelaksanaan pemerintahan disemua tingkat.
c.       Mengembangkan kehidupan demokratis yaitu dengan mewujudkan keadilan dan pemerataan, mengembangkan sistem jaminan sosial, menyusun perencanaan dan tata ruang daerah, mengembangkan sumber daya produktif di daerah serta melestarikan lingkungan hidup. Dengan adanya pemerintah daerah, daerah otonom dapat lebih langsung berhubungan dengan masyarakat, sehingga dapat diharapkan lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat di daerahnya

3.      Penyelenggaraan dan Tata Cara Pengawasan dalam Pemerintah Daerah (PEMDA).
Beberapa hal yang urgen untuk diperhatikan yaitu masalah pembinaan dan pengawasan. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 di dalam penjelasannya, yaitu Daerah Propinsi tidak membawahkan Daerah kabupaten dan Daerah Kota, tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerja sama atau kemitraan dengan daerah Kabupaten dan daerah Kota dalam kedudukan masing-masing sebagai daerah otonom. Sementara itu, dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi, Gubernur selaku Wakil Pemerintahan Pusat melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Dalam rangka penataan kelembagaan dan kepegawaian mutlak perlu dilakukan evaluasi terhadap seluruh lembaga yang ada dan lembaga yang mungkin berkembang dan menciut, sehingga hasilnya benar-benar menjawab kebutuhan daerah. Penataan kewenangan, kelembagaan dan relokasi personil benar-benar dapat berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan beban kerja Daerah sesuai dengan harapan kita.

4.      Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam membicarakan hubungan antara pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, perlu terlebih dahulu diperhatikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara kesatuan, karena itu Negara Republik Indonesia tidak akan mempunyai daerah-daerah di dalam lingkungannya yang bersifat Negara pula. Pelaksanaan azas desentaralisasi di dalam Negara kesatuan. Hak otonomi yang diberikan kepada daerah berdasarkan pasal 18 undang-undang dasar Republik Indonesia. Undang-undang  no.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah adalah sangat berlainan dengan souvereiniteit atau kedaulatan Negara; souvereiniteit merupakan suatu attribuut dari Negara, akan tetapi tidak merupakan attribuut dari bagian-bagian Negara itu, yang hanya dapat memperoleh hak-haknya dari Negara dan yang justur sebagai bagian dari Negara diberi hak untuk berdiri sendiri (zelfstandig) akan tetapi tidak merdeka (onafhankelyk) dan ridak lepas dari sejajar dengan Negara.
Dalam ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 tentang GBHN telah digariskan prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai berikut: “Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara, dan dlam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa, maka yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas dasar kesatuan Negara, diarahkan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah, yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi”.
Untuk melaksanakan GBHN tersebut, maka prinsip yang dipakai dalam undang-undang no.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, bukanlah lagi prinsip otonomi riil dan seluas-luasnya sebagai tercantum dalam peraturan-peraturan perundang-undangan tentang pokok-pokok pemerintahan daerah yang ada sebelumnya, akan tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”.
Otonomi yang nyata adalah sama dengan otonomi yang riil, sehingga prinsip otonomi yang riil tetap merupakan salah satu prinsip untuk melandasi pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah. Istilah “seluas-luasnya” tidak dipakai lagi, karena berdasarkan pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecendrungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan kesatuan Negara dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN.
Sebagai telah ditegaskan dalam GBHN, maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah berorientasi pada pembangunan dalam arti yang luas yang meliputi segala kehidupan dan penghidupan. Dengan demikian maka otonomi daerah itu lebih merupakan kewajuban dari pada hak, untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan rakyat, yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Pengarahan-pengarahan yang telah diberikan dalam GBHN. Yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang NYATA dan BERTANGGUNG JAWAB adalah sebagi berikut:
a.       Harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa.
b.      Harus dapat menjamin hubungan yang serasi anatara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan Negara.
c.       Harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
Nyata dalam arti bahwa pembeian otonomi kepada daerah harus didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijakan-kebijakan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Bertanggung jawab dalam arti, bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan yang telah diberikan, sesuia dengan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serat dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah otonom diatur menurut cara-cara tertentu dengan peraturan perundang-undangan no.5 tahun 1974. Misalnya,  kalau pemerintah pusat akan menugaskan kepada daerah untuk mengurus sesuatu urusan pemerintah pusat sebagai urusan runah tangga daerah, maka tugas yang demikian itu tidak dapat diperintahkan dengan lisan atau dengan surat biasa, akan tetapi harus menurut cara yang telah ditentukan untuk itu dalam undang-undang no.5 tahun 1974 ialah dengan memuat penugasan itu di dalam undang-undang pembentukan dari daerah otonom yang bersangkutan, jika urusan itu diberikan sebagai pangkal urusan rumah tangga daerah, atau dengan peraturan pemerintah apabila pemberian urusan itu dilakukan kemudian sebagai tambahan urusan rumah tangga daerah.
Tidaklah boleh dilupakan bahwa hubungan anatara pemerintah pusat dan daerah tidak dapat dilakukan menurut cara yang sama dengan cara hubungan antara Presiden/Mentri(pusat) dangan Gubernur/Bupati/Walikota (Kepala Wilayah) karena:
a.       Dalam pemerintah memuat asas dekosentrasi, Presiden/ Mentri disatu pihak merupakan pihak atasan, sedang Gubernur/Bupati/Walikota/Camat dipihak lain, merupakan pihak bawahan yang “ordergeschikt” atau “untergeoment” kepada pejabat-pejabat atasan tersebut.
b.      Dalam pemerintahan menurut azas desentralisasi, hubungan Negara (pusat) dan pemerintah daerah harus dilakukan menurut cara yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, sebab Negara dan daerah kedua-duanya merupakan badan hokum public, yang masing-masing mempunyai badan pemerintahannya sendiri-sendiri dengan hak, kewenangan dan kewajiban sendiri-sendiri.


Untuk dapat menjamin terlaksananya prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan pemerintahan Daerah sebagai yang telah digariskan oleh GBHN, maka hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dilakukan dengan beberapa cara:
a.       Dengan menggunakan berbagai peraturan perundang-undangan dengan untuk melaksanakan lebih lanjut hal-hal tertentu yang disebut dalam undang-undang tentang pokok-pokok pemerintah daerah no.5 tahun 1974, sehingga merupakan sekumpulan peraturan yang lengkap yang harus dipakai sebagai dasar melaksanakan pemerintah daerah.
b.      Dengan mengadakan pedoman-pedoman Mentri dalam negeri mengenai hal-hal tertentu sebagai pemgarahan dalam melaksanakan Pemerintahan Daerah, agar dapat diperoleh cara yang seragam dalam melaksanakan pemerintahan tersebut.
c.       Cara-cara yang telah digariskan di dalam undang-undang no.5 tahun 1074 itu sendiri.

5.      Sumber Keuangan Daerah.
Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi, karena dalam hal ada penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan, dengan perkataan lain dalam hal ini terjadi pemberian otonomi kepada Daerah, sehingga daerah mempunyai hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka daerah membutuhkan dana atau biaya, yang tidak lain adalah uang. Itulah sebabnya harus ada pengaturan mengenai perimbangan keuangan antara Negara dengan Daerah, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dana atau biaya yang dibutuhkan oleh Daerah untuk mengatur dan mengurus rumag tangganya sendiri, atau untuk menyelenggarakan otonomi daerah-nya, sebagian diperoleh dari Pemerintah Pusat atau Keuangan Negara. Inilah yang kemudian antara lain menjadi materi yang diatur dalam undang-undang mengenai perimbangan keuangan antar Negara dan Daerah.
Jadi dalam masalah perimbangan keuangan antara Negara dan daerah selalu terkait dengan masalah desentralisasi pemerintahan, sehingga dalam undang-undang yang mengatur desentralisasi selalu terdapat adanya ketentuan mengenai “Sumber-sumber Pendapatan Daerah”. Hal ini dirumuskan dalam undang-undang yang mengatur desentralisasi, akan sangat tergantung kepada serta ditentukan oleh prinsip otonomi daerah yang dianut. Undang-undang tersebut antara lain UU No. 22 Tahun 1948 tentang pemerintah daerah, pasal 37, 38(1), 39(1) dan (2), UU No.1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintah daerah, pasal 57, 58(1) dan (2), 59(1) dan (2), 60(1), 61 (1), (2) dan (3). UU No.18 tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintah daerah, pasal 69 (1) dan (2), 70(1), (2), dan (3), 71(1) dan (2), 72(1), (2) dan (3). UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah, pasal 55, 56 dan 57.
Namun demikian, dengan mengingat bahwa tidak semua pembiayaan dapat diberikan bahwa tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada daerah otonom, maka daerah otonom diwajibkan untuk menggali segala sumber-sumber keuangnya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 ketentuan mengenai sumber-sumber pendapatan daerah otonom terdapat dalam pasal 55 yang menentukan sebagai berikut:
Sumber pendapatan daerah (otonom) adalah:
a.       Pendapatan asli daerah (otonom) sendiri, yang terdiri dari:
1.      Hasil Pajak Daerah.
2.      Hasil Retribudi Daerah.
3.      Hasil Perusahaan Daerah.
4.      Lain-lain hasil derah yang sah.
b.      Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah (pusat) yang terdiri dari:
  1. Sumbangan dari pemerintah (pusat).
  2. Sumbangan-sumbangan lain, yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
c.       Lain-lain pendapatan yang sah.

Selanjutnya dalam:
1.      Pasal 56 Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 ditentukan ; “Dengan undang-undang sesuatu pajak Negara dapat diserahkan kepada daerah otonom.
2.      Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 ditentukan: “Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat daerah otonom diatur dengan undang-undang”


























DAFTAR PUSTAKA

Soehino. Hukum Tata Negara (Perkembangan Otonomi Daerah). Yogyakarta: BPFE, 1991.

Soehino. Hukum Tata Negara (Proyek Percontihan Otonomi Daerah, Peletakan Titik Berat Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II, dan Rekomendasi kebijakan Serta Pelaksanaan otonomi Daerah). Yogyakarta: BPFE, 2003.

Soejito, Irawan., Hubungan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT. Rinika Cipta, 1990.

Widjaja, HAW. Otonomi Daerah dan daerah Otonom. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.